My First Short Story
"Three side of mine"
Desir angin mengiringi
langkah kakiku melewati jalan setapak di pematangan sawah. Kaki ini terasa
lelah, badan pun sangat lelah.”Betapa beratnya belajar zaman sekarang,
berangkat pagi pulang sore?” batinku. Sudah 5 menit aku melewati jalan setapak
pematangan sawah nan hijau dan rapih dengan tatanannya, aku pun harus berjalan
naik untuk pulang ke rumah. Terik matahari
senja menambah lelahku. Seharian harus berperang dengan otak. Namun,
yang kusukai adalah keluar pada pagi hari untuk belajar. Karena aku sangat suka
pagi. Aku sangat suka suasana pagi, matahari yang bersinar, embun yang tertimpa
cahayanya, udara yang sejuk, dan kicauan burung yang ceria membuat suasana
hatiku yang bagus dan terhanyut olehnya.
Setelah beberapa menit aku berjalan bersama teman-temanku,
akhirnya aku sampai di gang kecil menuju rumah. Dari kejauhan terlihat
seseorang yang tua. Ia memakai kacamata tebal, kaos putih dan terbalut sarung
berkain songket emas. Tampaknya ia sedang memotret langit senja hari ini. Di
sela-sela pemotretan, tampak mata cokelatnya melihat senyuman matahari yang
akan tidur dengan tenang. Ia adalah kakekku yang sangat kusayangi dan ia sangat
menyukai senja.
Berbeda dengan kakekku yang sangat menyukai senja yang
tenang dan damai, aku lebih menyukai pagi. Pagi itu seperti ada sesuatu yang
dikirim Tuhan untuk memberi semangat. Tuhan dan alam ciptaan-Nya hadir dalam
hidupku. “Kakek apa yang kakek lakukan ?” teriak kecilku dari pagar. “Kau sudah
pulang Arsa? Sini kakek tunjukkakan sesuatu,”
kakek memanggilku. Aku menghampiri kakek. “Inilah surga dunia, campuran
warna yang menakjubkan dan terlihat tenang, bener
dak ? “ kakek meyakinkan foto itu.
“Hmm..katoku lebih indah dan
bercahaya pagi kek. Ramai dengan makhluk-makhluk Tuhan yang beraktivitas. Kalo senja itu gelap kek, apalagi malam
aku benci dengan langit malam,” kataku.”Yoyo
la kakek tahu, tapi kau tidak boleh benci samo sesuatu di dunia ini. Karena
ketika sesuatu itu hilang, kau pasti merindukannya. Dan jika kau terlalu
menyayangi sesuatu di dunia ini, akibatnyo
kau terpukul jika itu tiba-tiba pergi,” jelas kakek. “Hmm iya deh kek.. aku lelah nian. Aku ingin ganti baju dulu kek,” aku masuk ke dalam rumah.
Terlihat kakek yang mengangguk dan mulai memotret lagi.
***
Buku geografi dan matematika berserakan di meja
belajarku. Otakku sepertinya akan pecah. Mataku pun terasa berat melihat
banyaknya angka-angka pecahan yang tertulis dibuku matematika. Aku rasa aku
sudah lelah untuk belajar malam ini, apalagi malam ini sangat dingin dan
gelap.” Yah benar-benar menyebalkan belajar malam hari ini,” keluhku. Akhirnya aku memutuskan untuk
meletakkan kepalaku di atas meja belajar dan mulai menulis lagi. Krek … seseorang membuka pintu kamarku.
Wanita tua berkulit putih dan berambut hitam terdapat sedikit helai rambutnya
berwarna putih berada di selah rambut yang hitam, membawakanku makanan. Ia
nenekku yang lembut dan penyayang yang sangat setia dengan kakekku. “Kau
lelah?” tanya nenek. Aku mengangguk malas. “Makanlah pisang goreng ini dulu, ”
kata nenek. Dengan wajah cemberutku aku mengambil sepotong pisang goreng yang
masih hangat. “Nek.. nek henao akek uka mo yenja?” aku bertanya pada nenek
dengan mulut penuh dengan pisang goreng.
“Hei kau itu ngomong habiskan-lah makanannya dulu,” kata nenek sambil berdiri dan menyodorkanku segelas air.
“Hei kau itu ngomong habiskan-lah makanannya dulu,” kata nenek sambil berdiri dan menyodorkanku segelas air.
“Nek kenapo kakek suka sama senja?” tanyaku lega setelah
minum air. Nenek terdiam sedangkan aku melanjutkan tugas matematikaku.
“Kenapa kau tidak menanyakannya kepada kakek ?”
“Tapi alasannya selalu sama hanya karena keindahannya
saja nek tidak ada alasan tertentu,” aku
menjawab dan mulai menulis lagi.
“Yah suatu hari kau akan mengetahuinya, itu menakjubkan
untuk menunggu alasan kakek mengapa ia sangat menyukai senja.”
“Dan mengapa Alex sama seperti kakek ? Mereka sangat suka
senja. Cuma bedanya Alex lebih suka malam. Padahal malam itu menyeramkan,”
kataku merinding .
“Arsa, di dunia ini dak ada yang sempurna dan dak ada
yang dak indah. Biarlah mereka menyukai apa yang berarti di hidup mereka. Sudahlah
sekarang kamu tidur jangan mengoceh lagi.”
Nenek meninggalkan kamarku. Sejenak aku bingung dengan keadaan ini seakan yang mereka lakukan sedikit aneh. Terkadang menyendiri dalam suasana senja dan malam. Ah sudahlah apa yang kupikirkan. Kapan-kapan aku bisa menanyakan mereka.
Nenek meninggalkan kamarku. Sejenak aku bingung dengan keadaan ini seakan yang mereka lakukan sedikit aneh. Terkadang menyendiri dalam suasana senja dan malam. Ah sudahlah apa yang kupikirkan. Kapan-kapan aku bisa menanyakan mereka.
***
Pagi
hari menyapaku, aku keluar rumah dengan seragam lengkap merah putih. Aku
menunggu seseorang. Tak lama menunggu, dia datang. Senyuman terbesit di
bibirnya saat matanya bertemu dengan mataku. Seorang anak laki-laki muda dengan
seragam lengkap merah putih dan tas punggungnya memarkirkan sepedahnya di depan
pagar rumahku. Dia sahabatku, Alex. Dia sudah lama bersahabat denganku. Pertama,
dimulai saat aku pindah ke desa ini. Aku bertemu dengannya saat malam hari,
saat aku sangat benar-benar sedih karena harus tinggal jauh dari orangtuaku.
Saat malam itu aku berumur 6 tahun dan aku berdiri terpuruk di sebuah teras
kecil di samping kamarku, tiba-tiba ia
datang dan ia memperkenalkan diri. Saat itu dia menghiburku memberiku semangat.
Setiap hari kami bermain, belajar bersama. Setiap malam pun dia selalu
menghampiriku melewati teras itu. Dia selalu keluar pada saat malam ataupun
senja. Karena malam, orangtuanya sibuk dan harus pergi malam bahkan sampai pagi
harinya sibuk. Jika malam ia akan bebas untuk keluar karena pembantu yang
mengurusnya sudah tertidur. Dan sejak saat itu kami bersahabat dan selalu
bersama. Dia memberiku inspirasi hidup dan memberiku semangat untuk hidup tanpa
dekat dengan orang tua.
“Hai..cepat
nanti kita terlambat,” teriaknya. Teriakannya menyadarkanku untuk berhenti
bernostalgia. Aku mengeluarkan sepedahku dari garasi. Kami pun berangkat.
***
“Ah
aku sangat lelah sekali…” keluhku sambil menggiring sepedahku di pematang
sawah.
Terlihat
dia yang sedang menggiring sepedahnya juga. Senja ini dia terlihat sangat
berbeda, senyumannya sangat manis. Apa yang kurasakan? Ah entahlah. Mengapa aku
berfikir seperti itu. Dia adalah sahabatku bukan siapa-siapaku. Tapi memang
hari ini dia terlihat lebih bijaksana dan sangat manis. “Ah masak kau sangat lelah,
hanya begitu saja? Lebih lelah aku, tadi aku harus menggiringmu ke UKS yang
jauh di tingkat tiga. Kau ceroboh sih
sering sekali kau jatuh,” ujarnya.
“Yee..
itu kan takdir tapi kau sangat senang kan menggiringku begitu lama?”
Keaadaan
hening. “Kalau iya memang kenapa ? Tidak boleh ?” Aku terdiam, dadaku serasa
berdetak lebih kencang dan tubuhku terasa kaku. “ Yah kau bercanda saja.”
“Oh ya.. bukankah kau yang lebih bahagia jika aku menyentuhmu?” godanya
“Hei kau berani ya mengejekku.” Aku mengejarnya dan kami pun saling kejar sampai rumah. Ya Tuhan aku bahagia saat ini jangan pisahkan aku dengan orang yang spesial seperti dia dan kakek nenekku.
“Oh ya.. bukankah kau yang lebih bahagia jika aku menyentuhmu?” godanya
“Hei kau berani ya mengejekku.” Aku mengejarnya dan kami pun saling kejar sampai rumah. Ya Tuhan aku bahagia saat ini jangan pisahkan aku dengan orang yang spesial seperti dia dan kakek nenekku.
***
Seperti
biasa ia menjemputku lagi. Pagi ini ia tidak terliat baik-baik saja. Wajahnya
pucat pasi dan terlihat tidak ada
semangat pada pagi ini. Apakah penyakitnya datang lagi? Aku takut sekali. “ Kau
baik-baik saja ?”
“Ya,” ia tersenyum. Kurasa ia tidak benar baik-baik saja. Tiba-tiba buk ia terjatuh di pundakku aku tak kuat menahan tubuhnya akhirnya aku jatuh terduduk dan ia tergeletak di kakiku. Hidungnya mengeluarkan banyak darah. Aku berteriak dan banyak orang yang mengangkatnya dan membawanya ke rumah sakit.
***
“Ya,” ia tersenyum. Kurasa ia tidak benar baik-baik saja. Tiba-tiba buk ia terjatuh di pundakku aku tak kuat menahan tubuhnya akhirnya aku jatuh terduduk dan ia tergeletak di kakiku. Hidungnya mengeluarkan banyak darah. Aku berteriak dan banyak orang yang mengangkatnya dan membawanya ke rumah sakit.
***
Sudah
sekitar 3 minggu ia terbaring di rumah sakit. Suatu pagi aku menjenguknya.
Setelah melewati koridor rumah sakit, aku sampai di depan kamar Alex. Terlihat
di kaca, ia sangat menyedihkan, tubuhnya sangat lemas dan kurus. Kepalanya
sudah tidak ditumbuhi rambut karena kerasnya kemoterapi itu. Aku terpukul
mengapa dia harus begitu?. Setelah berdiam diri terlalu lama. Aku
menghampirinya. Aku duduk disamping tempat tidurnya dan meratapinya. Tiba-tiba
ia memberikanku sebuah lonceng terbuat dari bambu yang berbalut benang-benang
yang sangat bercahaya. “ Mengapa kau memberiku ini ?”
“Ingatlah
aku saat malam dengan ini. Ini akan meramaikan malammu. Besok aku akan
berangkat ke rumah sakit di pusat kota dan malamnya aku akan pulang. Do’akan
aku.” Lalu tiba-tiba aku terpaku dan terdiam. “ Kau tahu mengapa aku menyukai
malam?” Aku menggeleng. “ Karena aku ingin menjadi malammu yang selalu ramai
berlebihan untuk membuatmu tidak kesepian. Hei itu hanya balas budiku karena
kau mau menjadi sahabatku. Jangan terlalu GR ya,“ ia mencubit pipiku.
“Hemm kau sok dingin, katakan saja kau memang menyukaiku, kan? Hahah,” godaku. “Sudahlah yang penting kau termasuk dalam daftar hidupku. Aku ingin tidur, pulanglah nanti kakek dan nenek mancari kau.”
Dia tertidur dan aku pun pulang dengan hati tidak tenang, namun aku bahagia. Tapi aku benar-benar takut. Apakah yang akan terjadi ?.
“Hemm kau sok dingin, katakan saja kau memang menyukaiku, kan? Hahah,” godaku. “Sudahlah yang penting kau termasuk dalam daftar hidupku. Aku ingin tidur, pulanglah nanti kakek dan nenek mancari kau.”
Dia tertidur dan aku pun pulang dengan hati tidak tenang, namun aku bahagia. Tapi aku benar-benar takut. Apakah yang akan terjadi ?.
***
Disisi
lain aku sudah 4 tahun tinggal bersama kakek dan nenek. Kakek adalah orang yang
kuat. Tidak ada sesuatu yang dibenci kakek di dunia ini. Aku bingung, apakah
aku bisa menjadi seperti kakek?. Menerima dengan ikhlas apa yang terjadi. Kakek
sama seperti Alex. Kakek tidak mau melewati harinya tanpa senja, sedangkan Alex
tidak mau melewati harinya tanpa malam. Kalau aku biasa saja. Yang penting aku
bisa hidup. Mereka berdua harus ada waktu untuk melewati senja ataupun malam.
Ya Tuhan aku hanya suka dengan pagi, aku benci dengan senja atau malam. Namun,
aku sangat menyayangi kakek dan Alex. Mengapa sifatku terlalu jauh dengan
mereka?.
Tiba-tiba
suara dering HP-ku berbunyi dan menyadarkanku dari lamunan. Ketika ku angkat
tiba-tiba terdengar suara Ibu Alex yang histeris yang sedang memberi sebuah
kabar. Ini bukan kabar gembira, tapi kabar yang sangat membuatku lemas. Dingin
malam ini masih menusuk kulitku dan menambah laraku. Alex benar-benar sudah
pulang malam ini, ia pulang ke sisi Tuhan. Seketika mataku dipenuhi
berjuta-juta tetes air. Kakek dan nenek meneguhkanku dan menyuruhku untuk
bersabar. Ia sudah tak ada.
***
Senja
hari ini matahari memang terlihat sangat damai, entah mengapa aku harus
merasakan hal ini?. Pukul 16:00 sore kakek mengajakku ke pantai, Permintaan
kakek yang sangat jarang, karena kakek jarang ke pantai. Apalagi keadaan kakek
saat itu sedang parah, kakek mengalami asma lagi.
***
Angin
senja bertiup sedikit kencang, membuat anak-anak rambutku berterbangan.
Tanganku terus menggandeng kakek yang berjalan sangat lambat. Hatiku merasakan
sesuatu yang nyaman namun membuatku takut. Entah mengapa ? Rasanya air mataku
akan jatuh sore itu, namun karena apa ? Kami duduk dibawah pohon kelapa, sepoi-sepoi
angin terdengar saat menabrak dahan-dahan pohon. Hanya ada aku dan kakek.
Keadaaan hening, pada akhirnya kakek mulai berbicara. “ Kakek ingin menjadi
langit, terutama langit senja agar setiap senja kakek bisa menikmati hangatnya
udara dan selalu ingin melihatmu Arsa,” kakek tersenyum. “Kek apakah pagi,
senja dan malam bisa bersahabat? Aku sangat suka pagi tapi kakek suka senja dan
Alex suka malam. Mengapa kita begitu berbeda?”
“Tentu saja bisa, sudahlah dak usah memikirken apapun.Yang penting kakek suka pagi dan Alex pun juga suka pagi.”
“Tentu saja bisa, sudahlah dak usah memikirken apapun.Yang penting kakek suka pagi dan Alex pun juga suka pagi.”
“Kakek tahu darimana kalau Alex menyukai pagi ?”
“Ia sudah banyak bercerita kepada kakek. Pagi itu kakek dan Alex bisa beraktivitas. Pagi hari itu indah dan tidak sepi dan juga tidak terlalu bising. Alex pun suka pagi hari, karena ia setiap pagi akan menghabiskan waktu bersamamu di sekolah dan akhirnya malam hari pun bertemu juga. Intinya kakek dan Alex menyimpulkan bahwa pagi itu adalah ruang tunggu untuk senja dan malam tiba. Alex mengatakan kepada kakek, ia suka malam juga karena kau. Karena ia bertemu denganmu pada malam hari dan malam hari itu adalah waktu dimana ia menemukan orang yang berarti dalam hidupnya yaitu kau Sa,” jelas kakek. Aku terpaku dengan kata-kata kakek. Keadaan hening, tiba-tiba kakek tak berbicara apapun, “ kek….kek…. kakek… “ aku panik.
“Ia sudah banyak bercerita kepada kakek. Pagi itu kakek dan Alex bisa beraktivitas. Pagi hari itu indah dan tidak sepi dan juga tidak terlalu bising. Alex pun suka pagi hari, karena ia setiap pagi akan menghabiskan waktu bersamamu di sekolah dan akhirnya malam hari pun bertemu juga. Intinya kakek dan Alex menyimpulkan bahwa pagi itu adalah ruang tunggu untuk senja dan malam tiba. Alex mengatakan kepada kakek, ia suka malam juga karena kau. Karena ia bertemu denganmu pada malam hari dan malam hari itu adalah waktu dimana ia menemukan orang yang berarti dalam hidupnya yaitu kau Sa,” jelas kakek. Aku terpaku dengan kata-kata kakek. Keadaan hening, tiba-tiba kakek tak berbicara apapun, “ kek….kek…. kakek… “ aku panik.
Kakek tak menjawab panggilanku. Dadaku terasa sesak.
Mataku dipenuhi air mata yang berlinang. Aku takut, takut dalam keadaan ini.
Aku berlari, tak perduli kakiku sakit ataupun terluka. Aku harus menemukan
bantuan. Aku terus berlari dan akhirnya aku menemukan abang Deni sopir kakekku.
“Bang, kakek pingsan di pantai cepatlah tolong kakek bang…”
***
Kakiku berlari pincang melalu koridor rumah sakit, dengan
panik kudorong ranjang kakek. Kakek terlihat lemas, seperti tidak ada tulang
dalam tubuhnya. Wajahnya pucat, tubuhnya pun dingin. Dadanya berulang kali
kembang kempis dengan cepatnya. Namun bibirnya tersenyum manis, seakan kakek
memelukku bahagia dan penuh kehangatan. Kakek masuk ke ruang UGD. Tangisku tak terbendung
seketika aku terjatuh sujud di lantai. Kudengar suara bising alat Elektrogadiograf. Bunyinya sangat keras
seperti mengiang-ngiang di telingaku.Yang kudengar saat itu hanya suara
itu.Suara yang menyadarkanku dan saksi akhir dari sifat kebencianku pada
sesuatu yang tidak pantas dibenci. Tit…Tit…Tiiiiiiiittt……..
***
Sinar berwarna jingga mengiringi langkahku, sedikit
hangat namun menenangkan. Keadaan sudah tenang dan damai. Petani di sawah sudah
tidak bermunculan. Inilah senja, senja yang indah, menakjubkan seperti fajar di
pagi hari dan indah seperti malam hari. Aku tidak ingin membenci sesuatu lagi
di dunia ini. Aku tetap menyukai pagi dan aku juga tetap menyukai senja dan
malam. Semoga kakek dan Alex tenang di sana. Aku yakin kakek akan selalu
memelukku dalam hangatnya suasana langit senja. Aku juga yakin Alex akan selalu
memelukku dalam suasana langit malam yang bertaburan jutaan bintang. Dan aku
yakin aku akan selalu memeluk mereka dalam sapaan langit pagi. Mereka akan
selalu ada dalam hatiku.
***
Komentar
Posting Komentar